Kamis, 27 Agustus 2015

Jean Henri Dunant

Nama lengkapnya Jean Henri Dunant lahir 8 Mei 1828 dan meninggal 30 Oktober 1910 pada usia 82 tahun, yang juga dikenal dengan nama Henry Dunant, adalah pengusaha dan aktivis sosial Swiss. Jean yang dikenal sebagai Bapak Palang Merah Dunia ini adalah pemuda yang menyaksikan perang mengerikan antara pasukan Prancis dan Italia melawan pasukan Austria di Solferino, Italia Utara pada tanggal 24 Juni 1859. Ketika melakukan perjalanan untuk urusan bisnis pada tahun 1859, dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran Solferino, sebuah lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan pengalamannya itu dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul A Memory of Solferino (Kenangan Solferino), yang menginspirasi pembentukan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada tahun 1863. Konvensi Jenewa 1864 didasarkan pada gagasan-gagasan Dunant. Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama, bersama dengan Frédéric Passy.

Dunant lahir di Jenewa, Swiss, putra pertama dari pengusaha Jean-Jacques Dunant dan istrinya Antoinette Dunant-Colladon. Keluarganya adalah penganut mashab Kalvin (''Calvinist'') yang taat serta mempunyai pengaruh yang signifikan di kalangan masyarakat Jenewa. Kedua orangtuanya menekankan pentingnya nilai kegiatan sosial. Ayahnya aktif membantu anak yatim-piatu dan narapidana yang menjalani bebas bersyarat, sedangkan ibunya melakukan kegiatan sosial membantu orang sakit dan kaum miskin. Dunant tumbuh pada masa kebangkitan kesadaran beragama yang dikenal dengan nama Réveil, dan pada usia delapan belas tahun ia bergabung dengan Masyarakat Jenewa untuk memberikan zakat. 

Pada tahun berikutnya, bersama dengan teman-temannya, ia mendirikan apa yang disebut “Kamis Asosiasi”, sebuah kelompok anak muda tanpa ikatan keanggotaan resmi yang melakukan pertemuan rutin untuk mempelajari Bibel dan menolong kaum miskin. Waktu senggangnya banyak dia habiskan untuk mengunjungi penjara dan melakukan kegiatan sosial.

Pada tanggal 30 November 1852, Dunant mendirikan cabang YMCA di Jenewa. Tiga tahun kemudian, dia berpartisipasi dalam pertemuan Paris yang bertujuan membentuk YMCA menjadi sebuah organisasi internasional. Pada tahun 1849, pada usia 21, Dunant dipaksa meninggalkan College Calvin karena nilai yang buruk, dan ia memulai magang pada perusahaan Pertukaran Uang Lullin et Sautter. Setelah berhasil, ia menetap sebagai karyawan bank.

Pada tahun 1853, Dunant mengunjungi Aljazair, Tunisia, dan Sisilia bertugas pada sebuah perusahaan yang dikhususkan untuk “koloni dari Setif” (Compagnie genevoise des koloni de Setif). Walaupun sedikit pengalaman, ia berhasil menyelesaikan tugas. Terinspirasi oleh perjalanan itu, dia menulis buku pertamanya dengan judul Notice sur la Régence de Tunis (Kisah tentang Regensi di Tunisia), yang diterbitkan pada tahun 1858.

Pada tahun 1856, Dunant mendirikan perusahaan yang beroperasi di wilayah-wilayah jajahan luar negeri dan, setelah memperoleh konsesi lahan dari Aljazair yang ketika itu berada di bawah pendudukan Prancis, dia juga mendirikan perusahaan perkebunan dan perdagangan jagung bernama Société financière et industrielle des Moulins des Mons-Djémila (Perusahaan Keuangan dan Industri Penggilingan Mons-Djémila). Namun, lahan dan hak atas air yang dijanjikan tidak kunjung ditetapkan dengan jelas, sedangkan otoritas kolonial di Aljazair juga bersikap kurang kooperatif. Oleh karena itu, Dunant memutuskan untuk meminta bantuan secara langsung kepada Kaisar Napoleon III dari Perancis, yang ketika itu sedang berada di Lombardi bersama pasukannya. Prancis sedang berperang di pihak Piedmont-Sardinia melawan Austria, yang ketika itu menduduki banyak dari wilayah yang dewasa ini bernama Italia. Markas Napoleon terletak di kota kecil bernama Solferino. Dunant menulis sebuah buku yang isinya penuh sanjungan dan pujian bagi Napoleon III untuk dia hadiahkan kepada kaisar tersebut. Kemudian dia melakukan perjalanan ke Solferino untuk bertemu secara pribadi dengan Napoleon III.

Dunant tiba di Solferino pada malam hari, 24 Juni 1859, pada hari yang sama sebuah peperangan antara kedua belah pihak telah terjadi di dekatnya. Tiga puluh delapan ribu luka, mati dan mati, masih di medan perang, dan ternyata ada sedikit usaha untuk memberikan perawatan. Dunant berinisiatif mengerahkan penduduk sipil setempat, terutama kaum perempuan, untuk memberikan pertolongan kepada para prajurit yang terluka dan sakit. Karena persediaan alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan tidak memadai, Dunant sendiri mengatur pembelian material yang dibutuhkan itu serta membantu mendirikan rumah sakit darurat. Dia berhasil meyakinkan penduduk setempat untuk melayani para korban luka tanpa melihat di pihak mana mereka bertempur, sesuai dengan slogan “Tutti fratelli” (Kita semua bersaudara) yang diciptakan oleh kaum perempuan dari kota Castiglione delle Stiviere tak jauh dari tempat itu. Dia juga berhasil membujuk pihak Prancis untuk membebaskan dokter-dokter Austria yang mereka tawan.

Sekembalinya ke Jenewa pada awal bulan Juli, Dunant memutuskan menulis sebuah buku tentang pengalamannya itu, yang kemudian dia beri judul Un Souvenir de Solferino (Kenangan Solferino). Buku ini diterbitkan pada tahun 1862 dengan jumlah 1.600 eksemplar, yang dicetak atas biaya Dunant sendiri. Dalam buku ini, Dunant melukiskan pertempuran yang terjadi, berbagai ongkos pertempuran tersebut, dan keadaan kacau-balau yang ditimbulkannya. Dia juga mengemukakan gagasan tentang perlunya dibentuk sebuah organisasi netral untuk memberikan perawatan kepada prajurit-prajurit yang terluka. Buku ini dia bagikan kepada banyak tokoh politik dan militer di Eropa.

Dunant juga memulai perjalanan ke seluruh Eropa untuk mempromosikan gagasannya. Buku tersebut mendapat sambutan yang sangat positif. Presiden Geneva Society for Public Welfare (Perhimpunan Jenewa untuk Kesejahteraan Umum), yaitu seorang ahli hukum bernama Gustave Moynier, mengangkat buku ini beserta usulan-usulan Dunant di dalamnya sebagai topik pertemuan organisasi tersebut pada tanggal 9 Februari 1863. Para anggota organisasi tersebut mengkaji usulan-usulan Dunant dan memberikan penilaian positif. Mereka kemudian membentuk sebuah Komite yang terdiri atas lima orang untuk menjajaki lebih lanjut kemungkinan mewujudkan ide-ide Dunant tersebut,
dan Dunant diangkat sebagai salah satu anggota Komite ini. Keempat anggota lain dalam Komite ini ialah Gustave Moynier, jenderal angkatan bersenjata Swiss bernama Henri Dufour, dan dua orang dokter yang masing-masing bernama Louis Appia dan Théodore Maunoir. Komite ini mengadakan pertemuan yang pertama kali pada tanggal 17 Februari 1863, yang sekarang dianggap sebagai tanggal berdirinya Komite Internasional Palang Merah (ICRC).

Dari awal, Moynier dan Dunant saling berbeda pendapat dan bertikai menyangkut visi dan rencana mereka masing-masing, dan ketidaksepahaman mereka itu semakin lama semakin besar. Moynier menganggap ide Dunant tentang perlunya ditetapkan perlindungan kenetralan bagi para pemberi perawatan sebagai gagasan yang sulit diterima akal serta menasihati Dunant untuk tidak bersikeras memaksakan konsep tersebut. Namun, Dunant terus menganjurkan pendiriannya itu dalam setiap perjalanannya dan dalam setiap pembicaraannya dengan pejabat-pejabat politik dan militer tingkat tinggi. Ini semakin mempersengit konflik pribadi antara Moynier, yang memakai pendekatan pragmatis terhadap proyek tersebut, dan Dunant, yang merupakan idealis visioner di antara kelima anggota Komite itu. Pada akhirnya, Moynier berusaha menyerang dan menggagalkan Dunant ketika Dunant mencalonkan diri untuk posisi ketua Komite.

Pada bulan Oktober 1863, 14 negara berpartisipasi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Komite tersebut di Jenewa untuk membahas masalah perbaikan perawatan bagi prajurit terluka. Namun, Dunant sendiri hanya menjadi ketua protokoler dalam pertemuan tersebut sebagai akibat dari usaha Moynier untuk memperkecil perannya. Setahun kemudian, pada tanggal 22 Agustus 1864, sebuah konferensi diplomatik yang diselenggarakan oleh Parlemen Swiss membuahkan hasil berupa ditandatanganinya Konvensi Jenewa Pertama oleh 12 negara. Untuk konferensi ini pun, Dunant hanya bertugas sebagai pengatur akomodasi bagi peserta.

Dunant pindah ke Paris dan hidup di sana dalam keadaan berkekurangan. Namun, dia terus berupaya mewujudkan gagasan dan rencana kemanusiaannya. Selama berlangsungnya Perang Prancis-Prusia (1870-1871), dia mendirikan Perhimpunan Bantuan Kemanusiaan Bersama (''Allgemeine Fürsorgegesellschaft'') dan tak lama setelah itu, dia mendirikan Aliansi Bersama untuk Ketertiban dan Peradaban (''Allgemeine Allianz für Ordnung und Zivilisation''). Dunant berargumen tentang perlunya diadakan perundingan perlucutan senjata dan perlunya didirikan sebuah pengadilan internasional untuk memediasi konflik internasional. Kemudian, dia mengupayakan terbentuknya perpustakaan dunia, sebuah gagasan yang mempunyai gema dalam berbagai proyek di kemudian hari, antara lain UNESCO.

Dalam usahanya yang tak pernah berhenti untuk menganjurkan dan mewujudkan gagasan-gagasannya, Dunant semakin mengabaikan situasi keuangan pribadinya sehingga dia semakin terlilit utang dan dijauhi oleh kenalan-kenalannya. 

Meskipun diangkat sebagai anggota kehormatan Perhimpunan Palang Merah Austria, Belanda, Swedia, Prusia, dan Spanyol, dia nyaris dilupakan dalam perjalanan resmi Gerakan Palang Merah, pun ketika Gerakan ini berkembang pesat ke negara-negara lain. 

Di Stuttgart, Dunant bertemu mahasiswa Universitas Tübingan (Tübingen University) bernama Rudolf Müller dan kemudian bersahabat karib dengannya. Pada tahun 1881, bersama-sama dengan sejumlah teman dari Stuttgart, Dunant untuk pertama kalinya pergi ke Heiden, sebuah desa peristirahatan di Swiss. Pada 1887, ketika tinggal di London, dia mulai menerima bantuan keuangan bulanan dari sejumlah kerabat jauh. Ini memungkinkan dia untuk hidup dalam kondisi keuangan yang lebih aman. Dunant pindah ke Heiden pada bulan Juli 1887 dan tinggal di desa tersebut selama sisa hidupnya. Di Heiden, dia bertemu dengan seorang guru muda bernama Wilhelm Sonderegger dan istrinya Susanna. Mereka mendorongnya untuk mencatat pengalaman hidupnya. Istri Sonderegger mendirikan cabang Palang Merah di Heiden dan pada tahun 1890, Dunant menjadi presiden kehormatan cabang tersebut.

Di Heiden, dia bertemu dengan seorang guru muda bernama Wilhelm Sonderegger dan istrinya Susanna. Mereka mendorongnya untuk mencatat pengalaman hidupnya. Istri Sonderegger mendirikan cabang Palang Merah di Heiden dan, pada tahun 1890, Dunant menjadi presiden kehormatan cabang tersebut.

Penghargaan

Pada tahun 1901, Dunant menerima Hadiah Nobel Perdamaian pertama yang pernah dianugerahkan, yaitu atas perannya dalam mendirikan Gerakan Palang Merah Internasional dan mengawali proses terbentuknya Konvensi Jenewa. Dokter militer Norwegia, Hans Daae, yang pernah menerima satu eksemplar buku tulisan Müller itu, mengadvokasikan kasus Dunant kepada Panitia Nobel. Hadiah tersebut adalah hadiah bersama yang diberikan kepada Dunant dan Frédéric Passy, seorang aktivis perdamaian Prancis yang mendirikan Liga Perdamaian dan yang aktif bersama Dunant dalam Aliansi untuk Ketertiban dan Peradaban (Alliance for Order and Civilization). Moynier dan Komite Internasional Palang Merah secara keseluruhan juga dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian tersebut. Meskipun Dunant memperoleh dukungan dari kalangan luas dalam proses seleksi, dia tetap merupakan calon yang kontroversial.

Hans Daae berhasil menaruh uang hadiah yang menjadi bagian Dunant, sebesar 104.000 franc Swiss, di sebuah bank di Norwegia dan mencegah uang tersebut diakses oleh para kreditor Dunant. Dunant sendiri tak pernah memakai sedikit pun dari uang tersebut dalam hidupnya. Di antara beberapa penghargaan lain yang diterima oleh Dunant pada tahun-tahun berikutnya ialah gelar doktor kehormatan dari Fakultas Kedokteran University of Heidelberg, yang diterimanya pada tahun 1903.

Dunant tinggal di panti jompo di Heiden hingga akhir hayatnya. Menurut para juru rawatnya, tindakan terakhir yang dilakukan Dunant dalam hidupnya ialah mengirimkan satu eksemplar buku tulisan Müller kepada ratu Italia disertai surat pengantar dari Dunant sendiri. Dunant meninggal dunia pada tanggal 30 Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya ialah “Kemana lenyapnya kemanusiaan?” Dunant meninggal hanya dua bulan setelah musuh bebuyutannya, Moynier. Meskipun ICRC menyampaikan ucapan selamat kepada Dunant atas penganugerahan Hadiah Nobel tersebut, kedua rival ini tak pernah berekonsiliasi. Sesuai keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa upacara di Kompleks Pemakaman Sihlfeld di Zurich.


Hari ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia (''World Red Cross and Red Crescent Day''). Medali Henry Dunant, yang dianugerahkan setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan Palang Merah dan Palang Merah Internasional, merupakan penghargaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar